Selasa, 24 Juni 2008

Moderisasi Pelayanan Marketing

Apakah setiap orang yang menjual produk bisa disebut sebagai pemasar?
Ketika berbicara dengan kelompok orang-orang yang menjadi agen properti, mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang pemasaran. Padahal pekerjaan mereka lebih banyak pada urusan jualan. Saya tidak menyalahkan mereka. Umumnya industri yang benar-benar mengandalkan tenaga penjual seperti properti dan asuransi, melihat antara pemasar dan penjual seperti tidak ada bedanya. Bagi mereka, memasarkan produk berarti ya, menjual. Soalnya, dibeli atau tidaknya produk mereka akan tergantung dari kemampuan para agen menjual produk mereka. Mungkin ada beberapa persen pembeli yang membeli karena sudah merasa yakin akan produk tersebut. Tetapi sebagian besar konsumen membeli karena dorongan tenaga penjual. Apalagi jika berbicara tentang industri asuransi dimana antara produk satu dengan yang lain seperti tidak ada bedanya, maka kemampuan agen asuransi lah yang lebih berperan. Istilah pemasaran juga dipergunakan di banyak perusahaan untuk menutup persepsi jelek konsumen terhadap penjual. Banyak konsumen mempersepsikan penjual sebagai orang yang sangat pushy, licik dan banyak omong. Oleh karena itu istilah pemasar juga kerap banyak dipakai. Istilah pemasaran juga sering dikaitkan dengan 4P. Mata pelajaran ekonomi maupun bahasa Inggris banyak yang menyebut 4P sebagai konsep pemasaran ketika menyinggung bab tentang pemasaran. 4P ini diartikan sebagai: Product, Price, Place dan Promotion. Produk menyangkut produk apa yang dijual, price menyangkut harga yang diberlakukan pada produk tersebut, place menyangkut bagaimana produk tersebut didistribusikan dan promotion menyangkut bagaimana mempromosikan produk tersebut. Dari 4P tersebut, yang paling terlihat menonjol adalah promotion. Itulah sebabnya, banyak orang juga yang menyamakan pemasaran (hanya) dengan promosi. Padahal 4P sendiri telah berkembang menjadi 5P, 6P, bahkan 14P! Contohnya adalah Public Relations (PR). Dahulu PR dimasukkan sebagai aktivitas promosi. Tetapi dengan semakin kuatnya PR sebagai aktivitas komunikasi yang penting, orang-orang pemasaran maupun PR mulai melepaskan PR dari Promosi. Demikian halnya dengan orang-orang yang bekerja di bidang pelayanan, mereka memasukkan satu unsur lagi di dalam P tersebut, yakni Proses. Alasannya, proses dalam sebuah pelayanan adalah sesuatu yang penting. Orang menikmati pelayanan karena proses yang diberikan. Sekalipun produk yang dijual bagus, tetapi jika proses pelayanan yang diberikan buruk, orang bisa tidak puas Jika saya mencoba mendefinisikan secara sederhana, maka pemasaran merupakan upaya memindahkan produk atau layanan kepada konsumen agar tercipta kepuasan di sisi konsumen dan value di sisi perusahaan. Memindahkan produk atau layanan ke konsumen tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Konsumen bisa menolak karena merasa tidak memiliki kebutuhan akan produk tersebut. Bisa juga memiliki kebutuhan tetapi produknya tidak menarik atau harganya terlalu mahal. Atau, bisa juga karena produknya kurang dikenal atau sulit diperoleh. Jadi, memindahkan produk atau layanan ke konsumen memiliki banyak tantangan. Bahkan ketika produk atau layanan tersebut telah sampai di konsumen, tantangan berikutnya adalah, apakah konsumen tersebut juga puas sehingga mau menerima produk dan layanan kita lagi? Kalaupun mereka puas, tantangan lain, apakah perusahaan kemudian rugi karenanya? Jadi pemasaran merupakan serentetan strategi, taktik dan aksi yang demikian panjang agar produk yang dibuat perusahaan sampai kepada konsumen, memberikan kepuasan kepada mereka dan menciptakan value untuk perusahaan. Value disini bukan hanya profit tetapi juga hal-hal lain seperti citra, kredibilitas dan bahkan harga saham di bursa. Pemasaran tidak hanya dibutuhkan oleh perusahaan tetapi juga oleh lembaga non profit seperti pemerintah, lembaga sosial maupun lembaga swadaya masyarakat. Bahkan kita pun membutuhkan pemasaran dalam hidup kita sehari-hari. Contohnya, dalam mencari pekerjaan, kita harus punya strategi agar lamaran kita bisa dilirik oleh pencari tenaga kerja. Pun dalam wawancara, kita harus punya kemampuan memasarkan diri kita agar mereka tertarik untuk menjadikan kita karyawan mereka. Jadi pemasaran memang tidak bisa diartikan sebagai menjual saja atau beriklan saja. Keseluruhan elemen dalam pemasaran menjadi penting dan saling mendukung. Uniknya, ilmu pemasaran memang bukanlah ilmu pasti. Ilmu pemasaran bisa diutak-atik sesuai kebutuhan. Strategi yang cocok pada satu produk belum tentu cocok pada produk lain. Bahkan pemasaran bisa membuat produk yang tadinya tidak dibutuhkan konsumen bisa menjadi sebuah kebutuhan. Jadi pemasar agak melawan teori ekonomi yang melandaskan diri pada kebutuhan (need) dan keinginan (want) karena keduanya bisa dibentuk oleh pemasaran. Buktinya, sepuluh tahun yang lalu orang bisa hidup normal tanpa handphone.
PeLanggan
Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.
Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.
Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.
Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.
Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.
Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.
Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.
Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.
Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi. (Diambildariberbagaisumber)